Tulisan ini saya kirim ke Stiletto Book untuk ikut audisi A Cup of Tea : Working Mom
Sayangnya belum rejeki, jadi saya berbagi di sini saja yaaa...
Sebelum saya menulis dengan panjang lebar tentang menjadi seorang Working Mom, saya mau cerita sedikit tentang mood menulis saya datang dari mana saat ini. Biasanya kalau lagi kesal, emosi, saya mulai buka laptop, mencurahkan isi hati saya. Nah, berarti saat menulis ini saya lagi emosi dong ya? Persis, dan ini adalah salah satu problem bagi para Working Mom termasuk saya. Ketika sampai di rumah, menahan emosi ada kejadian tidak enak dalam pekerjaan. Namun, harus bisa tetap sabar, tersenyum dan kontrol diri saat bertemu anak yang menyambut kedatangan saya dari kantor. Susah? Banget. Kenapa coba susah? Karena belum tentu kontrol emosinya berhasil, bisa saja saya malah semakin marah-marah salah sasaran ke anak. Apalagi nih para ibu, ketika sampai rumah, ekspektasi kita melambung tinggi dengan Oke, saya datang, rumah bersih..rumah rapi.. ada makanan..anak sudah mandi and so on and so on.
Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Sudah mah di kantor ada kerjaan yang tidak beres, si bos lagi marah-marah, rekan kerja lagi cukup mengesalkan, di jalan pulang terkena macet, belum lagi menyetir sendiri, dan sampai rumah...eng ing eng.... rumah sangat rapi, pemirsaaa. Mainan di mana-mana, anak belum mandi, lantai pada kotor bekas remahan snack, terus si mbak (di pikiran kita) kok tidak ada inisiatif sekali sih buat menyapu lantai kembali?
Saat itulah, manusia saiya super ala komik Dragon Ball bisa saja terjadi pada diri kita. Mau maraaahh rasanya.
Dan bukan tidak mungkin anak jadi kena sasaran amuk. Itu sangat mungkin. Ending-nya? Suka menangis sendirian di kamar. Merasa berdosa. Rasa ingin resign bekerja, tapi kemudian mendadak ingat cicilan KPR, cicilan HP, cicilan ini itu, belum bayar listrik, blaa blaaa, akhirnya mengurungkan niat. Etapi besoknya, begitu lagi terulang.
Hayo siapa yang seperti itu? Ngakuuuu
Bu Ibu, sebelum saya sharing cerita saya sebagai Working Mom lebih lanjut, saya mau menegaskan bahwa tidak ada yang lebih baik. Jadi Working Mom lebih baik dari Ibu Rumah Tangga, atau IRT lebih baik dari Working Mom. Tidak ada. Buat saya, wanita itu sama spesialnya. Apapun pilihan ibu-ibu, menjadi Working Mom itu sama saja dengan mengurus kebutuhan keluarganya, sementara ibu rumah tangga pun sama dengan bekerja dalam mengurus keluarganya sehari-hari. Buat saya sih, sama hebatnya. Jadi, buat ibu-ibu di luar sana yang masih saja memperdebatkan kerenan siapa antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga? Come on, ini sudah tahun 2019, sungguh buang-buang waktu dan pikiran. Malah jadi saling dengki bisa membuat pusiing, ciin.
Baik, melanjutkan cerita saya. Saya perkenalkan diri terlebih dahulu ya, nama saya Dinda. Lahir 34 tahun lalu di Jakarta dan sudah menikah selama 7 tahun di bulan April 2019 nanti dengan suami saya serta Alhamdulillah telah dikaruniai anak gadis yang pada Januari 2019 lalu genap berumur 6 tahun.
Sejak menikah, saya sudah bekerja. Lha wong bertemu suami saja di lingkungan kantor. Kebetulan, suami juga sangat mendukung saya bekerja dan saya paham itu. Untuk hal ini kita memang sejalan, lantaran saya tidak terlalu betah berada di rumah dalam waktu yang lama, ditambah lagi dia pun mungkin berpikir kalau belum bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga saat ini sendirian. Masih belum. Alasan saya bekerja juga saya ingin membantu finansial kaluarga tanpa harus merepotkan suami. Ini saking sayangnya gue sih sama suami.
Akhirnya, kita pun menjalani pekerjaan masing-masing sebagai PNS di salah satu Kementerian. Kalau orang berpikir menjadi seorang PNS itu enak, dengan alasan kita bisa dengan gampang membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. ..Tidak..tidak.. tunggu dulu, mohon dihempaskan dulu pemikiran tersebut, Ibu-Ibu.. Yaa..yaa jujur saya pun sempat berpikiran seperti itu, namun pada kenyataannya, alamak..susah juga ternyata membagi waktu antara pekerjaan dan tugas ibu rumah tangga.
Oh iya, saya sampai lupa bilang, semenjak menikah dengan suami, tanpa honeymoon sama sekali, sehari habis akad, suami langsung kembali ke Bandung melanjutkan studi magisternya, dan kami hanya bertemu di saat weekend. Tantangan sekali, bukan? Dan tantangan ini berlanjut hingga nyaris 6 tahun kemudian. Alhamdulillah eiimmm
Nah, lalu apakah suka duka saya selama bekerja jadi wanita kantoran? Banyak. Tapi di sini saya akan menceritakan beberapa saja yang sering mampir ke dalam persoalan hidup. Misalnya saja ya, kisah lama terulang kembali selalu terjadi saat kita mau dinas. Waktu si bos sudah menugaskan kita untuk ke luar kota, itu mau tidak mau langsung putar otak. Bagaimana tidak? Satu sisi itu kan tugas negara, belum lagi jujur nih ya, menjalani dinas itu juga menolong kita untuk tetap waras, bukan hanya bekerja, namun bisa curi waktu untuk menikmati keindahan Indonesia. Walau curi waktunya singkat.
Namun, masalah hadir saat kita melihat anak. Duh, bukan masalah meninggalkan berdua anak sama si mbak saja sih (ini kalau lagi ada si mbak ya), tapi juga hal lain yaitu neneknya anak kami, alias ibu kandung saya. Kalau pamit dinas, drama kekhawatiran langsung muncul.
Belumlah selesai menjelaskan pulang dinas kapan, biasanya sih sudah dipotong dengan rentetan kata :
Nanti cucu mama sama siapa kalau kamu dinas? Cuma berdua doang sama si Mbak? Emang dia bisa ngurus sendirian aja? Mama harus kesana, tapi masalahnya mama ini lagi tidak enak badan, mau ke sana jauh, tapi mama harus kesana, karena mama tidak percaya sama si Mbak!
Dan ini dan itu. Ini hal baik memang, saya paham perasaan seorang nenek pada cucunya, tapi saya juga butuh dipahami kalau saya butuh dinas sebagai pemasukan tambahan. Ini bukan egois lho meninggalkan anak hanya dengan mbaknya, tapi saya juga punya kewajiban pada kantor, karena itu tadi saya memilih untuk bekerja. Sebenarnya, masalah ini buat saya dan suami meski jauh-jauhan sudah dapat diatasi, akan tetapi ya itu tadi, izin sama neneknya salah, kalau tidak izin bisa lebih salah lagi, bisa abis saya hahah. Kalau udah begitu kepala suka ngepul duluan sebelum berangkat dinas. Selesai sampai di situ? Tentu tidak. Sebelum dinas, apalagi kalau sampai berhari-hari ya, batas saya sih maksimal pergi dinas 5 hari itu sudah maksimal sekali. Sebelum itu, saya pasti siapkan dulu segala keperluan anak, mengecek kembali kebutuhan sekolah di grup WA ada kegiatan apa saja dan saya harus menyiapkan apa. Terus saya juga harus belanja kebutuhan makan anak, baik jajanan sehat maupun untuk makanan berat sehari-hari. Tetap dong, walau bekerja saya juga lebih memiliki kewajiban utama pada anak.
Begitu sampai di lokasi dinas, kita juga masih harus stand by untuk bisa memantau keadaan anak. Dari menanyakan sudah dijemput sekolah belum, sudah makan belum?, ada cerita apa hari ini?. Neneknya juga tidak kalah butuh perhatian, di tengah huru hara dinas, pasti beliau menelepon untuk menanyakan kondisi saya dan cucunya disana, kadang suka sedikit drama sih dengan kepanikannya dia. Kadang, saya jadi suka menyeletuk.. ya udah deh.. neng tidak usah kerja, tapi kalau sudah mengeluarkan kata itu, si mama keluar jurus lain : kalau sudah sekolah tinggi-tinggi kenapa tidak bekerja lalala.
Hehehe. Ah mama, meski anakmu ini suka dibuat linglung dengan sikapmu, aku tetap cinta. Saya pun juga jadi tahu, saya dapat turunan labil dari siapa.
Pernah suatu waktu, waktu dinas ke Papua Barat, godaan datang saat teman-teman ingin mmpir ke Raja Ampat dengan harga yang lebih miring daripada berangkat dari Jakarta. Tapi dari rumah sudah dapat warning call kalau si kecil badannya panas. Saat itulah decision must be made, saya tidak ikut ke Raja Ampat dan memilih kembali ke Jakarta lebih dulu. Tidak bisa bohong, selama di jalan kepikiran..kapan lagi ya saya ke Raja Ampat? Hahahah. Tapi ya sudahlah, saya yakin nanti ada rejekinya lagi. Aamiin.
Itu kalau dinas dengan kondisi ada si mbak. Kalau tidak ada bagaimana coba? BEUUUHH, malih tong tong jelong-jelong, bener2 hamba minta toloooong..!
Nah ini dia nih masalah lain ibu bekerja, saat tetiba mbak minta pulang kampung dengan berbagai macam alasan. Biasanya sih alasannya mau nikah lah, sakit lah.. atau alasan seperti tidak boleh bekerja lagi sama keluarga di kampung. Sungguh, kalau sudah begini rasanya pusing bukan main, kalau dahulu jaman remaja putus cinta itu rasanya nyesek banget, ternyata saat sudah menikah, ada yang lebih nyesek, yaitu ditinggalin ART. Belum lagi, kadang mereka suka kerja sama dengan penyalurya sih ya, yang kadang punya perjanjian berapa bulan saja. Ah embuh. Tapi sekali lagi, itu adalah permasalahan kami sebagai Ibu bekerja.
Mbak yang sebelum ini pulang lantaran sakit dan itu terjadi saat saya sedang dinas, bukan main...saya sampai menelepon tetangga karena dia tidak bisa ditelepon dan laporan terakhir yang dia kabarkan adalah dia muntah darah, gimana tidak panik at the disco saya ini? Akhirnya subuh-subuh sudah berangkat ke bandara untuk mencari tiket kosong, waiting list saya lakukan demi pulang duluan. Untung urusan pekerjaan sudah beres. Ada-ada saja kan?
Kalau sekarang kondisi saya sih sedang ada ART, baru 3 bulan bekerja dan saya sih sudah ikhlas dan pasrah jikalau setelah lebaran nanti dia tidak kembali. Sudah mulai membiasakan diri meski tetap saja sakit. Palingan nanti jadi sering izin ke bos, entah saya yang tidak masuk, atau si anak yang ikut ke kantor. Alhamdulillah-nya, anak dara jarang rewel kalau dibawa ke kantor, kadang jadi alasan juga sih biar pulangnya lebih cepat. Hahahaha.
Oh iya, ngomong-ngomong soal bos, ini juga menjadi hal yang ngeri-ngeri sedap sebagai ibu bekerja. Bukan hanya bos juga sih, tapi rekan kerja yang kadang suka membuat saya gondog. Sebagai cengceremen, urusan bos marah-marah atau tidak puas dengan pekerjaan kita sih itu sudah hal biasa, namun kalau ditambah punya bos agak baper atau always want to know dan panikan *eh banyak ya*, itu yang kadang membuat pusing tujuh keliling. Jujur, dari awal bekerja habis lulus saya cukup berpengalaman dengan bos wanita. Dan saya akui, dibandingkan bos cowok, mereka memang lebih baper dan kadang omongannya suka tidak enak, sebagai staf cewek, apakah saya ikut baper? Oh itu pasti, makanya tadi saya bilang ngeri-ngeri sedap. Hal ini sangat bisa mempengaruhi situasi hati saat pulang ke rumah. Tapi hal itu membuat saya juga lebih bersyukur, lho kok? Ya karena, saya jadi berprinsip, agar saya nanti tidak seperti bos yang seperti itu. Memang tidak semua sih, ada kok pimpinan saya (cewek) tidak seperti itu.
Sayangnya saat ini banget.... situasi saya di kantor agak sedikit kurang menyenangkan. :D Tapi sing sabaar, Dinda. Ada untungnya jadi wanita dengan zodiak Taurus, yang kalau sudah tidak peduli, dia akan mampu mengabaikan.
*padahal mewek di pojokan karena kesyal*
Lalu, adakah hal lain di kantor yang lebih menganggu? ADA BANGET. Situasi itu datang saat ada pekerjaan tambahan di luar tupoksi kita sebagai pegawai. Apakah itu? Mengurus kebutuhan dan keinginan para istri pejabat yang kadang-kadang agak ajaib, saya pernah menolak tiga kali saat diminta tugas oleh mereka, dan sekarang saya sedang berpikir apakah setitik kekacauan yang melanda event yang divisi saya adakan kemarin di kantor ada sangkut pautnya dengan hal itu ya? :D
Ya habiiiss, kadang permintaannya selain agak ajaib, juga tidak substantif siih. Sementara saya tidak lihai untuk berpura-pura, alias meng-iya-kan semua keinginan. Janganlah hanya karena budaya lama, kita juga jadi ikut gila hormat dan membuang prinsip. Bagi saya, Pemegang segala takdir dan nasib hidup hanya Alloh swt. Bukan manusia, mereka hanya menjadi jembatan. Dan buat saya, jika terjadi masalah dalam karier saya di kantor lantaran saya tidak manut pada bos dari segala bos itu, ya berarti bukan rejeki saya di situ. Saya selalu yakin kalau rejeki tidak akan tertukar. Namun, kenyataan tak seindah syurga, ujung-ujungnya kami akan menjawab : SIAAP BU. SIAAPP PAK.
Ah andaikan mereka tahu acapkali ada tugas yang di luar tupoksi, yang rasanya ingin kami tolak namun tidak akan bisa, yang akhirnya kami kerjakan juga.. Andai mereka tahu.. Kalau sudah begitu, saya hanya bengong ditambah isak tangis, bukan tangisan sedih, melainkan nahan emosi. Plus rasa iba sama diri sendiri : begini amaat yaak gue bekerja?
Contoh, di tengah huru hara persiapan event yang sudah menyentuh keputusan final, tetiba sempat terbersit keinginan agar pertunjukan kegiatan ibu-ibu pejabat dimasukkan ke rundown acara. Mereka ingin tampil.
Serius? Bukan tidak boleh. Bukan menyalahkan si pertunjukannya. Namun, itu diminta H minus seklian, dengan kapasitas gedung seadanya, sementara itu alat untuk pertunjukan buanyaaakkk banget. Itu berarti, kami harus mengubah banyak hal, dari mulai men power, cost, layout venue, rundown dll. Tapi kan mana mereka mau mengerti, pokoknya mereka tampil. Sementara kita, kroco mumet sudah kalang kabut berpikir. Alhamdulillah lho tapi kemarin, rencana ini gak jadi.. LEeehh, jadi curhat beneran yaaa saya.. Kalau ada yang baca kisah saya ini... Saya berharap setelah ini ini saya tidak dipindahkan ke pantry suruh goreng bakwan ama bikin es teh manis!
Sementara itu, rekan kerja yang tidak sejalan dalam pemikiran pun bisa saja terjadi. Kadang nih ya, kadang... saya merasa 10 tahun bekerja di tempat sekarang, nampaknya saya tidak mampu atau tidak berkeinginan lagi memberikan 100 % pemikiran dalam kegiatan kantor. Iya, walaupun sekarang ini jatuhnya saya bekerja bagaikan kerbau dicocok hidung, hidung siapa? Tidak tahu. Karena rambut boleh sama hitam, isi kepala tidak akan pernah sama, ada ide-ide kita yang terhempas, namun ditangkap orang, and that person takes all the credits. Tapi sekali lagi, itu resiko. Ya kaan?
Ah, cukup cerita tentang kantor ya.. itu suka dan duka saya sebagai pekerja kantoran dan itu sudah menjadi resiko saya yang memilih untuk bekerja, dan saya yakin semua orang itu baik meski berbeda-beda, kita yang harus menyesuaikan diri. Belum tentu juga kan saya selalu menjadi orang yang menyenangkan di mata orang lain? Ciyee.
Saat ini, saya telah menyesuaikan diri. RALAT. Masih menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dengan orang-orang baru, bahkan dengan suami saya. Lho kok? Iya, karena Alhamdulillah saat ini suami saya sudah kembali ke Jakarta, jadi setelah 6 tahun lebih LDR, sekarang kembali lagi satu atap, tapi ya itu tadi.. menyesuaikan diri lagi, bukannya tidak senang, bahagia mah pasti, akan tetapi saking sudah kelamaannya hidup mandiri dan terbiasa kemana-mana sendiri, saya agak kaget jadinya. Biasanya bertemu suami hanya seminggu sekali, ini jadi tiap hari. Biasanya menyetir mobil sendiri bisa ngalor ngidul kemana-mana sekarang jadi agak sulit, biasanya kalau lagi menyetir bisa nyanyi-nyanyi teriak-teriak atau kalau lagi bete dan sedih menangis sendiri, sekarang harus dikontrol. Belum lagi jadi melayani setiap hari karena porsi makan bertambah, masak setiap hari maunya suami apa. Memang yaa yang namanya manusia begitu ya, suka tidak puas. Suami jauh dicariin, giliran suami dekat sekarang saya malah kayak belajar untuk tidak selalu sendiri melulu. Tidak bisa dipungkiri, kadang malah jadi suka debat kusir.
Tapi bagaimana pun kondisinya, saya tetap bersyukur apapun itu. Senang dong, sekarang kalau galon habis, ada yang bantu angkat, kalau listrik mati tidak perlu lagi naik tangga sendiri buat ganti lampu, wonder woman-nya perlahan memudar.
At the end, kalau ada yang bertanya pada saya, senang tidak menjadi seorang Working Mom? Oh pasti, karena itu memang keinginan saya juga kan. Lalu apakah ke depan harapan saya akan terus menjadi Working Mom sampai renta?? Tidak dong, saya juga mau pensiun dini yang mana entah kapan itu terjadi. Mau punya bisnis sampingan biar masih tetap bergerak sana sini aktif agar otak saya terus bekerja namun dengan kapasitas yang agak santai, siapa tahu bisa seperti selebgram yang penghasilannya bisa milyaran, kan mengkhayal dulu boleh kan yaa?
Akhir kata, setelah cerita ngalor ngidul saya ini dibuat, poinnya untuk saya adalah tetap bersyukur, meski rumput tetangga terkadang lebih hijau, lihat liburan ke sana kemari sementara kita masih kudu merangkak, berkarier dan masih jadi pelayan bos, namun yang paling penting berusaha tidak kekurangan dan ini bukan hoax, saya senang kalau orang yang saya bantu dalam pekerjaan itu merasa puas, ada kebahagiaan sendiri buat saya sebagai pelayan masyarakat. Aamiin.
Terima kasih sudah memberikan kesempatan bagi saya untuk bisa berbagi pengalaman, berbagi kepahitan dan kesukaan dalam bekerja, semoga para Working Mom di luar sana tetap semangat dalam bekerja dan mengurus rumah tangga, percayalah there will be sunshine after the rain!