~ilustrasi dari ikan yang aku foto di toilet Paris Van Java.ekornya bengkok..namun indah~
Langit mendung, sama mendungnya dengan apa yang dirasakan oleh hati Qila. Bahkan sepertinya hati Qila sudah lebih dulu dilengkapi petir dan geluduk. Mungkin, jikalau ada yang memperhatikan Qila dengan seksama akan menganggap dia semacam orang yang tidak memiliki aura kehidupan.
Jawabannya, HAMPIR! Setidaknya, itu menurut Qila sendiri. Qila habis menangis tersedu-sedu tadi siang, lantaran dia merasa dirinya tidak cantik, merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seseorang dari masa lalu sang pacar. Bagi Qila yang sedang dirudung jatuh cinta, ini bukanlah masalah yang sepele, ini adalah titik klimaks dari sebuah perasaan yang meringis tajam! Meski bagi Ragil – sahabatnya Qila, ini bukan masalah yang super douper besar. Gara-gara hal ini juga, Qila berulah pergi meninggalkan sang pacar dan teman-teman yang lain begitu saja di bioskop!
“Qil! Udah dong nangisnya!” bentak Ragil sewaktu di kamar mandi cewek. “Lo lihat diri lo sendiri di kaca? You’re not like what you think! You’reTapi apa? Qila malah makin deras menangis. Ya, ya, memang sedikit beralasan jika mau diruntut dari awal. Qila mempunyai cowok yang bernama Diza. Sebelum dengan Qila, Diza menjalin hubungan dengan cewek bernama Wisty selama 3 tahun. Waktu pacaran yang cukup lama –menurut Qila, dan sejauh mata memandang dan pikiran berpetualang, sampai sekarang Qila masih merasa sulit bisa melupakan jejak Wisty di dalam kehidupan Diza. Bagaimana tidak? Usia pacaran Diza dan Qila saja masih seumur jagung, hitung tahun saja belum, dan selama pacaran dengan Diza, Qila harus selalu ‘mengikhlaskan’ senyum hambarnya sebagai bentuk reaksi dari sebuah ledekan, sindiran, cerita-cerita lalu. Qila harus sering mengelus-elus dada dan menelan ludah kental-kental untuk siap-siap mendengarkan sebuah perbandingan, ataupun celetukan-celetukan tentang masa lalu Diza dan Wisty yang keluar secara sengaja atau tidak sengaja, secara lisan maupun tulisan, melalui semua bentuk media dan panca indera dari para teman dan keluarga Diza.
not that so bad... In fact, you’re great!”
Tidak bisa dipungkiri, waktu 3 tahun itu memang waktu yang cukup lama sehingga nama Wisty lebih familiar dan lebih sering menempel, melekat pada orang-orang di sekitar Diza. Apalagi jarak Diza dan Wisty putus dengan Diza dan Qila jadian terpaut 5 bulan, yang juga belum menghitung tahun. Apesnya bagi Qila, sebelum dengan Diza, dia menjomblo selama 2 tahun, dimana orang-orang juga udah pada lupa dia pacaran sama siapa sebelumnya. Oleh karena itu, masih menurut Qila, betul-betul jelas, keadaan ini sungguh memojokkan dia. Meski, keluarga inti Diza telah menerima kehadiran Qila, pun telah memperlakukan Qila dengan sangat baik, namun terkadang celetukan perbandingan dari yang bukan keluarga inti, membuat Qila merasa sangat penting untuk melempar mangga busuk ke mereka. Misalnya, perkataan seperti ini,
“Diz, kok yang sekarang kurang dekat sih sama kita? Kok yang sekarang agak cuek sama kita?”
atau... ”Diza..., kok yang sekarang jarang main ke rumah tante sih?”
Diza sendiri sudah bersikap sangat gentle. Selalu memberikan semangat pada Qila.
“Yang ada di depan mata aku adalah kamu, wanita bernama Qila, dan aku tahu, aku akan menjalani semua kehidupanku bersama dia, bukan masa laluku.” Ujar Diza saat itu.
Hari ini memang sungguh menjadi sebuah klimaks. Acara nonton bareng bersama teman-teman Diza jadi sedikit berantakan karena Qila memutuskan untuk pulang sendiri ke rumahnya di Bogor. Reaksi tersebut Qila berikan lantaran tiba-tiba Wisty hadir di tengah acara kumpul, pertemuan pertama kalinya dengan mantannya Diza membuat Qila langsung merasa menciut, mengecil, berasa langsung jadi liliput saat itu juga! Ketika bersalaman dengan Wisty, kontan lirikan-lirikan dari para teman Diza jadi makin berasa, antara lirikan ledek, kasihan, dan yang lainnya. Seketika itu juga Qila merasa nggak ada artinya, karena ternyata secara fisik Wisty adalah gadis rupawan yang memiliki senyuman yang bisa memikat para kaum Adam! Lalu sewaktu bersandingan dengan Wisty, tinggi Qila hanya selehernya Wisty, padahal hak tinggi Qila lebih tinggi daripada haknya Wisty. Hal lainnya lagi adalah Qila langsung gosok-gosok kulitnya dan meraba-raba tubuhnya saat memperhatikan Wisty yang memiliki kulit putih macam porselen, muluuus banget, badannya langsing, orangnya ramah, rambutnya hitam lurus panjang, 2 lesung pipi pun tak lupa menghiasi wajahnya. Sedangkan Qila, yang dia punya hanya mimpi bisa pergi ke Tanjung Lesung!
“Qilaa..., terus kenapa kalau dia memang secantik itu? Walaupun lo nggak tinggi, chubby, cewawakan, nggak tahu malu, tapi justru itu kelebihan lo, Qil! Lo musti bangga! Yang penting hati, Qil..HATI! Dia nggak muncul di Majalah untuk rubrik inspirasi muda kayak elo kaan? Nah...itu yang oke dari lo..,” kata Ragil yang berusaha setengah menghibur sahabatnya.
“Ugh! Untung banget ya kita stand-by di tempat yang sama, gue udah curiga... Curiga kalau salah satu temannya Diza bakalan ada yang menelepon Wisty untuk datang!” timpal Vina yang gagal menghibur.
“Heh! Suuzhoon!”
DAR! Semua itu telah terjadi, dan semua ucapan penyemangat dari Ragil dan Vina gagal total. Qila tetap pulang, tetap masuk ke dalam Kereta Api Listrik yang menuju Bogor, sambil terus menghapus air mata yang membandel jatuh membasahi pipi dengan tisu. Sore itu, kereta hanya diisi 10 orang penumpang, termasuk Qila. Qila duduk di dekat pintu kereta, kemudian dia menyandarkan kepala ke jendela, dan mulai menerawang ke luar jendela.
“Ibu..., kenapa sih aku tak sama seperti orang lain?” tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan dari seorang gadis kecil kepada Ibunya. Qila melirik ke arah mereka yang duduk berseberangan dengan Qila.
Ibu anak itu tersenyum bijak. “Siapa bilang tidak sama?” Ibu itu balik bertanya.
“Banyak, Bu. Kata mereka aku tidak normal, tidak sempurna, cacat!”
Ibu itu hanya mengelus-elus kepala anaknya.
“Bu..?”
“Ya, sayang?”
“Apa aku cantik? Apa aku bisa sama seperti yang lainnya? Aku ingin sama seperti orang yang lainnya, Bu. Seperti wanita-wanita yang muncul di TV. Mereka cantik-cantik ya, Bu? Tinggi, langsing, sempurna sekali. Tidak seperti aku.., aku ingin merasa dicintai dan disayangi seperti mereka...”
Gadis cilik itu melirik kaki kirinya, terdapat alat penyangga pada kakinya. Kakinya tak sempurna. Kecil sebelah. Ia lalu meraba-raba wajahnya yang juga tidak sempurna. Sebagian wajahnya terdapat bekas luka. Padahal gadis kecil itu sungguh manis.
“Fitria sayang? Sudah berapa kali Ibu menjawab hal ini. Haruskah kamu pertanyakan lagi pada Ibu?” tanya sang Ibu. Fitria mengangguk kecil. Sang Ibu lalu menarik pelan kepala sang anak ke bahunya, kemudian mencium kepalanya.
“Tidak ada satu pun Ibu di dunia ini melahirkan anak yang tidak sempurna. Bagaimanapun bentuk fisiknya, kami, para Ibu selalu menganggap putra atau putri kami adalah malaikat kecil penyemangat hidup yang sangat sempurna. Bagaimanapun bentuk, jumlah fisik, apapun fisiknya, kami, para Ibu akan selalu berkata bahwa putra atau putri kami sangatlah cantik dan tampan. Kami akan selalu merasa bangga memiliki kalian, apapun bentuknya. Begitupun Ibu, Fitria. Sungguh, Ibu sama sekali tidak merasa kamu kurang dan tidak sempurna. Ibu tidak peduli orang lain mau bilang apa, selama kamu masih percaya dengan apa yang kamu miliki, kamu percaya Ibu, itu sudah lebih dari cukup.”
Ibu itu kembali mengecup kepala Fitria.
“Sayang, cantik itu tidak harus selalu diukur dengan fisik. Semua orang bisa menjadi cantik, tidak harus seperti apa yang kamu lihat di TV. Cantik itu datang dari sini,” Ibu itu menunjuk dada Fitria. “Kamu tidak perlu merasa minder, merasa ciut, merasa tidak sempurna. Selagi kamu memiliki hati yang luar biasa cantik, kamu akan selalu cantik. Kamu tidak perlu takut tidak disayangi karena kamu merasa tak cantik, Fitria... Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam berkasih sayang, Ibu yakin, banyak yang sayang Fitria karena hal lain selain fisik yang membuat Fitria terlihat cantik. Kamu harus ingat satu hal, ketika seseorang telah memutuskan untuk mencintai dan menyayangi, bukan lagi tentang fisik, tapi tentang keseluruhan yang ada pada diri kita. Jadilah diri kita sendiri dan Janganlah berpikir, orang itu akan lebih baik dalam hal cinta jika bersama orang yang lebih cantik fisiknya. Jadi, Fitria..., jawaban Ibu akan selalu sama... Kamu cantik sekali..., malaikat Ibu yang paling cantik, karena kamu adalah Anugerah dari Tuhan. Tuhan telah menciptakan kamu seperti ini, dengan kecantikan yang sungguh luar biasa berbeda. Dan kamu patut mensyukurinya. Ya?” ucap Ibu itu panjang lebar. Kali ini Fitria sepertinya puas, dia tersenyum bahagia, lalu memeluk Ibunya erat.
Seketika, Qila yang ikut mendengar semua percakapan itu kembali berair mata, namun kali ini air mata yang dirasakan berbeda, Qila merasakan haru yang luar biasa.
“Ya Allah, Astagfirullahaladziim.., aku benar-benar dosa, tidak mensyukuri apa
yang aku miliki. Lihatlah aku yang memiliki anggota tubuh tanpa cacat
sedikitpun.. Tapi aku malah merasa tak sempurna. Sedangkan Fitria, dia selalu
mempunyai semangat untuk tidak merasa tak sempurna. Subhanallah, terima kasih
Engkau telah menyadarkanku dengan cara seperti ini. YA, walaupun Wisty jauh
lebih cantik dari aku, tapi aku harus percaya, semua itu masa lalu Diza, dan aku
harus percaya akan kasih sayang yang dimiliki oleh Diza dan aku sekarang, tak
peduli yang lain. Aku harus menjadi diriku sendiri.., waktu akan menjawab
semua.”
Tanpa disadari, kereta telah sampai di Bogor, Qila pun turun setelah sebelumnya, ia menyempatkan diri tersenyum pada Fitria dan sang Ibu. Hujan sudah turun rintik-rintik, tapi itu tak mematahkan semangat Fitria untuk cepat pulang, agar ia bisa segera menelepon Diza dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
“Qila!” panggil suara yang sangat dikenal Qila. Qila menengok, ternyata Diza!
“Diza? Kamu ngapain...kok udah ada di sini?”
“Aku teleponin kamu terus sepanjang perjalanan menuju Bogor. Kata Ragil, kamu pulang. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menuju ke sini, habisnya aku nggak nemuin kamu sepanjang jalan. Aku nggak tau lagi musti gimana, selain memutuskan untuk menunggu kamu di stasiun. Alhamdulillah nggak macet di jalan, jadi aku udah sampai. Kamu malah yang lama...,”
“Aku kan musti naik angkot dulu ke stasiun...,” jawabku pelan.
“Qila..., kamu kenapa sih? Aku minta maaf kalau aku salah, tapi aku pengen kamu bilang kalau aku salah, kalau kamu bereaksi kayak gini, malah bikin aku bingung. Apa ini soal Wisty?”
Qila mengangguk.
“Qilaa..., aku udah bilang berkali-kali sama kamu, biarpun aku menjalani tiga tahun dengan dia, tapi tidak akan sama dengan keinginan aku untuk menjalani bertahun-tahun bersama kamu! Kamu harus percaya itu, semua udah berubah..., apa-apa yang teman-teman aku katakan, biar kita hadapi bersama-sama, kamu nggak perlu takut, aku akan selalu berusaha untuk hubungan kita!”
Qila malah makin menangis mendengar Diza bicara seperti itu.
“Qila?? Sayang? Kok kamu malah nangis? Apa aku salah ngomong?”
Qila menggeleng. “Tapi kok?” Diza memegang kepala Qila dengan pelan.
“Aku yang minta maaf, Za.., semua udah berlalu, harusnya aku nggak bersikap kayak tadi, aku cuma bisa minta maaf, itu saja...,” Qila menunduk.
Diza tersenyum hangat. “Hey?” panggil Diza. “Lihat aku, Qila..,”
Sambil menangis pelan, Qila menatap wajah pacarnya itu.
“Kamu tahu nggak? Aku pertama kali ketemu kamu itu...kamu sedang tidak menangis, dan wajah tanpa tangisan itulah yang bikin aku jatuh cinta. Tolooong banget, kamu mau kan berikan wajah yang bikin aku jatuh cinta itu lagi sekarang??” pinta Diza.
“Aah..kamu gombal..!!” ujar Qila sambil menahan tawa,
Diza tertawa kecil. “Nggak apa-apa kan? Yang penting kamunya nggak nangis lagi. Yuk, kita pulang, kamu kehujanan gini...,”
Diza dan Qila pun pulang. Setelah akhirnya Qila menemukan arti cantik dan cinta yang sebenarnya!
1 comment:
Hiks.. :((
*ambil tisu*
Post a Comment