"Aku bertanya kepada Rasulullah : "Siapakah manusia yang paling berhak atas wanita?" Beliau menjawab : "Suaminya."
Aku bertanya : "Lalu siapakah manusia yang paling berhak terhadap laki-laki?"
Beliau menjawab : "Ibunya." (Al Hakim (IV/150)
Aku bertanya : "Lalu siapakah manusia yang paling berhak terhadap laki-laki?"
Beliau menjawab : "Ibunya." (Al Hakim (IV/150)
Merunut sebuah hadis di atas, sebenarnya bukan rahasia lagi, memang kita sebagai perempuan, hak terhadap suami masih terbatas. Saya jadi tergerak mengangkat topic ini lantaran beberapa kali mendengar curhatan teman-teman yang sedikit mengeluh kalau cowokya itu adalah Anak Mami.
Saya pun sering manggut-manggut, dan mulai menyadari hal tersebut gara-gara hadis itu, saya pun menjelaskan kepada teman-teman saya yang curhat. Walhasil, mereka hanya bisa berpasrah saja, iya, termasuk saya.
Nggak salah kok, sangat tidak salah, itulah kodrat lelaki, mau sampai kapan, dia masih bertanggung jawab pada keluarganya, namun jika wanita? Tidak lagi pada orang tuanya, namun pada suaminya.
Sehingga ketika Sang Bunda, ataupun keluarga dari lelaki meminta sesuatu, entah minta tolong, entah apapun, sejatinya, memang si laki-laki yang telah menjadi seorang suami pun, harus bisa melaksanakan. Lalu, bagaimana dengan para wanita? Gondok banget nggak sih, ketika misalnya nih, permasalahan sinetron mampir, kala Sang Ibu menuntut ini ina itu pada suami kita, atau saat tiba-tiba kepentingan istri yang [sebenarnya] tak kalah pentingnya harus dikesampingkan karena suami harus lebih nurut ke Ibu?
Sebagai manusia biasa, gondok itu wajar juga mampir, tapi yah mau bagaimana lagi? Terkadang dilema juga bukan, kalau kita mengeluh atau mengomel, disangkanya kita bukan istri yang baik dan shalehah serta tidak sayang keluarga suami, padahal bukan maksud begitu, tapi kalau dipendam dan mengalah terus menerus, bukankah lama-lama kita bisa jadi gila sendiri?
Yah, kembali lagi, semua tergantung ketegasan si suami, tahu diri, mana yang prioritas, mana yang harus didahulukan, bisa memberi pengertian kepada keluarganya, bahwa ia tak lagi sendiri, atau...ia sedang belajar menuju fase tak akan lagi sendiri.
Lalu, juga pihak keluarga si suami, Ibu tersayang, Mama Mertua, yang diharapkan secara bijak, dapat mengikhlaskan anak jagoannya telah membina rumah tangga sendiri, sehingga keadaan tak akan lagi sama, belajar untuk bisa memilah milih mana prioritas keperluan yang masih bisa dimintai tolong pada anak laki-lakinya, belajar untuk melepaskan anak cowoknya yang akan melepas masa lajangnya.
Kemudian juga si istri, kita sebagai cewe kudu siap, kudu ikhlas lilahi ta’ala kalau cowok atau suami kita nanti lebih berat ke ibu dan keluarganya, karena sampai kapanpun, cowok akan selalu bertanggung jawab pada keluarga. Harus selalu nurut, manut sama si Ibu. Kita ini sebagai pasangannya hanya wanita kedua saja, akan tetapi bukan berarti kita tidak bisa berbicara apa yang ada dalam isi hati kita, bukan?
Itulah, kenapa saya ingin sekali punya anak cowok semua. Saya tidak mau anak saya merasakan sedihnya memiliki minim hak terhadap suami, saya ingin menjadi mertua yang asyik, bisa berlaku rasional, tidak memaksa.
Sepertinya, kita tidak memiliki suami sepenuhnya, namun suami memiliki kita sepenuhnya...ya?
Feel Unfair? Yeah..buat that's life!! Seperti kata Nidji bilang, "Walau Hidup..Kadang Tak Adil.."
Feel Unfair? Yeah..buat that's life!! Seperti kata Nidji bilang, "Walau Hidup..Kadang Tak Adil.."
"Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak dan banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya dia atas tangan suaminya dan berkata "Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha"
(Hadist Hasan HR Ath-Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir.)
Uggh,,,tiba-tiba, gue kok nggak mau nikah ya? Ribet!